Pendidikan bagaikan cenderella yang kehilangan sepatu kaca: suatu tinjauan tentang pembelajaran sejarah

Bila berbicara pendidikan maka hal pertama yang akan kita ingat adalah lembaganya seperti sekolah. Hal itu wajar saja mengingat asosiasi yang muncul lebih menekankan pada bentuk nyata yang berwujud bisa dilihat oleh mata telanjang, tanpa embel-embel lainya. Pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan nasional. Dewasa ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan terus meningkat, salah satu buktinya pemerintah merencanakan program wajib belajar, khususnya pendidikan dasar sembilan tahun ini secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. hal ini dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan undang-undang No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan kita meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan negara yang selanjutnya disempurnakan dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membuat perubahan kearah yang lebih baik. Membuat manusia yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak baik menjadi baik. Tujuan akhirnya membuat manusia sadar akan eksistensinya sebagai makhluq tuhan di muka bumi. Pendidikan merupakan hal yang penting karena itu adalah salah satu makanan jiwa, bila tubuh terus diisi dengan makanan yang mengenyangkan, kalaulah jiwanya tidak diberi makan maka manusi tidak akan mencapai kesempurnaan. Disinilah banyak orang yang lupa akan hal itu, sehingga yang terjadi kehidupan menjadi timpang. Manusia yang paripurna adalah mereka yang sehat fisik juga sehat mentalnya. Dari sekian bidang studi penulis ingin melihat satu bidang studi yaitu sejarah. Ada apa dengan pembelajaran sejarah? Sejarah kadangkala menjadi pelajaran yang tidak popular dan cenderung di sepelekan, karena dianggap tidak punya nilai dan manfaat didalamnya dan yang lebih radikalnya dianggap sebagai pelengkap saja. Disinilah relevansinya antara pendidikan dengan sejarah. Sejarah mengajarkan kita untuk bisa bersikap lebih bijaksana dan memiliki daya kritis tinggi. Mungkin inilah yang coba disingkirkan oleh penguasa membuat manusia Indonesia tidak bijaksana dan tidak memiliki daya kritis. Sejarah bukan hanya sekumpulan data dan fakta yang tidak memiliki arti. Sejarah mengajarkan kita untuk lebih bisa menghargai hidup dari belajar pada peristiwa masa lampau. Kita ambil contoh yang sederhana adalah tentang peringatan hari pahlawan. Saat ini orang sudah sangat susah untuk mengenang hari pahlawan, jangankan di kenang di ingat saja mungkin sudah lupa. Karena kebiasaan kita mengalami “AMNESIA” terhadap apa yang telah terjadi di masa lampau Apa yang dapat ditawarkan pada peringatan Hari Pahlawan itu, selain dari sederet ulasan dan komentar tentang jejak heroisme tokoh-tokoh besar dan rakyat dalam upaya meraih dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, yang menempati posisi startegis sebagai akar-akar histories serta moral untuk membangun nasionalisme Indonesia? Di satu sisi masyarakat Indonesia memang tak pernah menurunkan penghargaan terhadap jasa para pahlawan bangsanya. Namun di sisi lain nampaknya jiwa zaman yang dinamis telah menggeser posisi dari masalah hidup yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia di masa kini dibandingkan dengan pengalaman historisnya. Meskipun bersifat fluktuatif karena beradaptasi dengan dinamika zaman kekinian, namun fenomena kesenjangan antara apa yang dapat dimaknai dari peristiwa-peristiwa sejarah, dengan apa yang sedang dialami pada konteks kekinian, merupakan dinding batas yang menghalangi kesadaran masyarakat dewasa ini dengan akar-akar sejarahnya dimasa lampau. Nampaknya problematika dan rutinitas keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia telah menyita setiap inchi ruangan dalam benak mereka sehingga terlalu sempit untuk mengadakan perenungan tentang makna peringatan hari nasional ini. Memaknai hari pahlawan dalam konteks kekinian, bukan berarti meninggalkan sketsa historisnya dalam dimensi ruang dan waktu, juga bukan mengabaikan faktor-faktor peristiwa serta jiwa zaman yang mewarnainya dan serta merta mengalihkan pada fenomena-fenomena masa kini, melainkan mencoba mencari dan menggali secara kualitatif nilai-nilai kepahlawanan tersebut kemudian mengaplikasikannya pada kehidupan kekinian. Dimana saat ini sedang gencar-gencarnya terjadi peninjauan ulang konsep kepahlawanan, salah satu contohnya adalah melalui media film yang dilakukan oleh Dedi Mizwar dalam “Nagabonar Ada 2” atau pun yamg dilakukan sineas Amerika Client Eastwood dan Steven Spielberg dalam film “Flags Of Our father” yang mencoba melihat apa dan siapa sebenarnya pahlawan itu. Apakah ia lahir secara alamiah? ataukah “dipaksakan lahir”?. Dan siapakah yang paling berhak mengatakan bahwa seseorang itu pahlawan? Apakah Pemerintah/penguasa atau masyarakat atau individu itu sendiri?. Untuk yang pertama pahlawan yang lahir secara alamiah tidak pernah menuntut adanya pengakuan dari orang lain kalau dia adalah pahlawan, tapi untuk yang kedua pahlawan yang “dipaksa lahir” lebih banyak menuntut karena bisanya ia dilahirkan untuk tujuan tertentu. Seperti apa yang pernah dilakukan Stalin yang memaksa pada para perwiranya untuk dimunculkan sesosok pahlawan demi menaikan moral tentara Soviet yang sudah lelah menghadapi musuh yang sama yaitu pasukan Nazi Jerman, maka lahirlah tokoh seperti Vassily Zaitsev misalkan. Adapun di masa kini relevansinya masih dapat terdeteksi manakala perjuangan dari berbagai pahlawan profesi dan kepentingan yang ada terpecah-pecah sehingga mengakibatkan ketidakmertaan pembangunan yang pada gilirannya akan membuka jalan bagi kesenjangan dan ketidakadilan multi aspek. Bukankah dimasa lalu, setelah diakuinya kemerdekaan Indonesia, maka kesenjangan dan ketidakadilan telah terakumulasi menjadi ketidakpuasan yang merupakan pendorong terjadinya berbagai gerakan pemberontakan dengan berbagai coraknya? Membuat Indonesia yang masih muda terpaksa mengalami fase terpecah setelah bersatunya, sakit setelah pulih, jatuh setelah bangkit. “Hari ini adalah hari Pahlawan” kalimat itu akan penulis katakan kepada para siswa di kelas seandainya hari ini tanggal 10 November, penulis adalah seorang guru pengajar sejarah atau IPS, yang dengan sabar menunggu para peserta didik menuntaskan studinya untuk kemudian mengambil peranan dalam salah satu bidang profesi, menjadi Neo-Heroes yang diharapkan mampu memperjuangangkan nasib para “pahlawan tanpa tanda jasa”. Meskipun tanpa sadar sebenarnya setiap perjuangan kita adalah perjuangan kepentingan pribadi dan kelompok saja sehingga menjadikan pelakunya sebagai ”pahlawan kesiangan”, bahkan “pahlawan tanpa jasa”, nilai-nilai dalam semangat rela berkorban demi kemerdekaan tanpa pamrih ini telah semakin pudar ataupun yang lebih ekstrimnya dikatakan hilang. Diganti oleh semangat berkorban demi mendapatkan hasil yang lebih dari pengorbanannya itu, namun anehnya kita tidak pernah merasa khawatir akan ditertawakan kelak oleh generasi di masa datang ketika mereka membaca buku sejarah dengan salah satu pokok bahasan tentang peristiwa-peristiwa masa kini. Maka bila tidak ada perubahan dalam cara pandang dan memahami pendidikan khususnya Sejarah maka akan seakan terlihat seperti Cinderella yang kehilangan sepatu kaca. Elegan, anggun tapi kehilangan….tapi menunggu sang pangeran datang mencarinya....

Komentar

Postingan Populer