untuk mereka yang mendahului ku ...

Pagi hening di bulan juni dengan suhu yang dingin sekitar 17°C, aku bersimpuh di depan pusara keluarga dan sahabat ku pekuburan Sebrenica. Sejuta perasaan berkecamuk dalam satu rasa yang tak menentu, entah apa yang kurasa sebenarnya. Tak terasa air mata ku ini menetes kembali di pusara itu, kalau saja waktu bisa diputar ulang ingin ku menyelematkan mereka tapi apa hendak di kata semua adalah akibat kebodohan dan kesalahanku sendiri. Tak ingin ku mengingat peristiwa itu lagi, cukup lah rasa bersalah ini ku anggap sebagai mimpi buruk dalam tidur. Namun semakin ingin ku lupakan tetap saja membayangi langkah hidup ku ke depan. Seperti kata usah yang ku pelajari dulu “Sejarah tidak akan pernah tua di benak pelakunya, suatu saat kita akan di paksa untuk memasukinya.” Pada awalnya ku bahagia tinggal di pinggiran kota dengan seorang istri baik yang pengertian dan sepasang bidadari kecil ku yang sudah mulai lincah ke sana kemari. Sarajevo orang menyebutnya, Kota ku yang terletak di sebuah lembah dengan dikelilingi barisan perbukitan dan pegunungan Alpen Dinaric ini memiliki pemandangan yang luar biasa. Dengan pesona alam yang masih alami, sisi keindahan yang tiada bandingannya. Tak hanya itu kota ku juga sangat kental dengan gaya bangunan bernuansa Yahudi. Maka tak heran jika pernah dijuluki sebagai Jerusalem-nya Eropa. Sarajevo juga merupakan kota dimana berbagai bangunan simbol keagamaan mulai dari Gereja Katolik, Mesjid, Synagoge dan Gereja kaum Orthodox berdiri saling berdekatan. Terutama ketika kami mengunjungi kerabat yang tinggal di pusat kota yaitu di daerah Ferhadija, di sini terlihat gereja Orthodox Serbia, Kathedral bergaya majestik, sekaligus Mesjid Begova yang bergaya khas Turki, hanya dalam waktu tidak lebih dari beberapa menit saja. Dan ini sungguh sebuah pemandangan langka yang mungkin tak kami temukan di negara-negara Eropa yang lain. Selain berbagai bangunan simbol keagamaan tersebut, di daerah Ferhadija beragam bangunan yang dipengaruhi gaya komunis yang simpel serta perpaduan dengan bangunan bergaya Austro-Hungarian yang berkesan klasik dan ornamental. Menjauh sedikit kearah Slatko Cose, gaya bangunan berarsitektur Turki klasik yang sarat nuansa Islami, berpadu dengan pengaruh Romawi kuno. Kami memiliki sebuah resto sederhana di dekat Sungai Miljacka, dengan penganan yang kami sajikan makanan khas tradisional kami, cevapi dan burek. Kebetulan istri ku seorang yang pandai memasak makanan tradisional itu, ayahnya seorang koki terkenal di daerah kami, keahliannya itu diwariskan pada anak-anaknya yang salahsatunya adalah istri ku ini. Kami tak ingin tergantung pada orang lain terutama ayah mertua ku, karenanya kami merintis usaha sendiri walau hanya kecil-kecilan. Cevapi adalah kebab berbahan daging sapi yang sudah diasap dan dipotong panjang-panjang, disajikan bersama dengan roti bakar berbentuk bundar. Sementara burek terbuat dari pastry seperti croissant yang di bagian tengahnya diisi dengan daging panggang dan tomat yang dipotong kecil-kecil. Jika tak suka daging, istri ku pun menyediakan sirnica, yaitu sejenis roti mirip croissant lembut dengan pilihan isi bermacam-macam: sayuran dan keju. Sirnica ini bentuknya bulat mirip pizza. Tak jarang kami memberi kesempatan pengunjung mendatangi tungku pemanggang sirnica dan memilih isi serta porsi yang diinginkan. Segelas kefir, yaitu yoghurt encer menutup sajian santapan yang kami tawarkan. Kebahagiaan yang kurasa, tiba-tiba terampas begitu saja seiring dengan hancurnya negara besar itu. Aku yang tak terlalu peduli dengan urusan politik pada awalnya hanya sebagai pemerhati tiba-tiba harus terseret-seret dalam urusan yang sebenarnya tidak kami ketahui ujung pangkal masalahnya, perang saudara muncul dimana-mana. Diawal tahun 1990-an Orang-orang dari negara yang sama, dari kota dan desa yang sama, dan antar tetangga mulai berperang. Aku juga masuk militer dan berperang. Entah kenapa mulai muncul rasa saling benci dan curiga diantara kami. Kehidupan toleransi saling menghargai yang kami jalankan tiba-tiba lenyap tak bersisa bagai angin yang meniupkan debu, tak berbekas Yang paling ku benci adalah orang-orang yang beragama lain. Keadaan yang memaksa kami harus melakukan itu, Aku membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak. Suatu hari saat mengunjungi tempatku sendiri bersama pasukan kecil, aku dengar orang-orang agama lain itu membunuh kenalan ku, rumah ku juga terbakar habis. Aku membalas dendam tanpa ragu, membunuh mereka dengan senjata dan bom. Tapi, saat aku membakar rumah orang beragama lain di belakang keluarga yang melarikan diri, Aku melihat anak dan istri ku terbakar. Ternyata, keluarga beragama lain itu melindungi keluargaku yang seharusnya jadi musuh. Ternyata, mereka menyayangi tetangganya ... (bersambung)

Komentar

Postingan Populer