SUATU HARI DI KERETA ....

“Prinsip terpenting dalam pendidikan adalah memelihara watak manusia agar tetap bersih, memberikan kehidupan baru kepada peserta didik, dan menuntun orang kepada kesempurnaan atau kebaikan akhir” (konfusius). Ehhhmmm....sudah malam jum’at lagi ya...tak terasa waktu seolah-olah berjalan begitu cepatnya. Sambil melepas lelah sedikit merenung kembali peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lewat...ya itung-itung sedikit corat-coret hal-hal yang ringan heeee .... Suatu hari saat perjalanan pulang dari sekolah di sebuah kereta api rakyat yang sering disebut oleh pejabat-pejabat di Jakarta sebagai “kereta api kelas ekonomi”, ada sebuah pembicaraan yang hangat antara seorang bapak dengan anaknya. Nampak raut wajah yang sedikit kecewa di wajah sang bapak, katanya ada yang tidak adil dalam pendidikan dan perlakukan dunia pendidikan terhadap dirinya dan anaknya. Kenapa sampai demikian? “ Sekolah dan Guru telah bertindak seolah-olah dirinya telah menjadi TUHAN …” Guman sang bapak. Astagfirullah, tertegun dan merinding mendengar pernyataan bapak itu. Katanya, Sekolah telah mengambil hak anaknya untuk berprestasi lebih tinggi, pada hal dilihat dari kemampuan dan nilai-nilai ia layak mewakili sekolah untuk mengikuti ajang perlombaan di tingkat wilayah ataupun tingkat nasional, mentang-mentang ia berasal dari keluarga yang penghasilannya pas-pasan. Upaya mempertanyakan alasan tidak terpilihnya malah mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Yang terpilih adalah siswa yang kemampuanya sama namun ia berasal dari keluarga kelas atas dan selaku donatur terbesar bagi sekolah. Keinginan untuk bertemu pimpinan sekolah selalu kandas, Kepala sekolah menolak bertemu dengan mereka dengan berbagai alasan yang sering dibuat-buat. Kemudian mencoba untuk bertemu dengan guru yang paling dihormati namun tetap saja tak membuahkan hasil. Alasan yang dikemukan guru dianggap tidak jelas, mengada-ada dan lebih ke arah hal yang bersifat diskriminatif, padahal beliau adalah seorang guru yang dihormatinya dan anak ini berkeinginan menjadi sepertinya. Percakapan itu memang bukan hal yang besar namun rasanya sedikit menggeletik nurani kita, terjadi diskriminasi dalam lembaga pendidikan. Pada hal masa lalu kita pernah diberikan sebuah pelajaran yang begitu berharga dalam epos Mahabrata (Sebuah karya sastra kuno India yang ditulis oleh Bhagawan Vyasa, yang terdiri dari delapan belas kitab dan sering juga disebut Astadasa Parwa) tentang kisah bambang ekalaya (Kisah tentang Ekalaya yang dikutif disini diambil dari versi mahabrata india yang kemudian diceritakan ulang oleh RA Kosasih adalam bentuk komik gambar, karena banyak sekali versi cerita tentang kisah ini, terutama versi jawa nya). Apa hubungan antara kejadian diatas dengan Bambang Ekalaya? Ekalaya adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada bhagawan Drona. Tetapi akhirnya ditolak untuk menjadi murid. Penolakan Sang Guru Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, membuat dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, dikarenakan kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, dan keinginan dan janji Drona untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di dunia, yang mendapat pengajaran langsung dari sang guru. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona dan menunjukkan sikap pilih kasihnya kepada murid-murid, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya. Belajar dibawah bayangan patung Sang Guru Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalaya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalaya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalaya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona. Pengorbanan seorang murid Mendengar pengakuan Ekalaya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalaya. Ekalaya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalaya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalaya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalaya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalaya menghormati sang guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik. Nilai Moral dan ketekunan Pada peristiwa bambang Ekalaya banyak sekali nilai yang bisa diambil namun ada beberapa nilai yang terlihat begitu menojol sebagai otokritik demi kemajuan bersama, diantaranya nilai moral dan ketekunan. Keteguhan dan keinginan yang besar untuk mendapatkan pengajaran dari seorang guru (dalam hal ini Drona) membuat seorang bambang ekalaya rela mendapatkan hinaan dan cercaan bahkan sampai ditolak menjadi murid untuk mendapatkan pengajaran formal. Namun hal itu tidak menghilangkan rasa hormat dan patuhnya bambang ekalaya terhadap gurunya, sedikit pun tidak ada rasa dendam atau niatan untuk membencinya. Bahkan ia mengganggap Drona sebagai gurunya dengan mempresentasikan dalam bentuk patung yang seolah-olah mengawasinya ketika sedang belajar (dalam cerita ini digambarkan memanah). Sungguh begitu luhur nilai moral yang dimilikinya sehingga memunculkan kekaguman pada gurunya tersebut. Hanya karena keadaanlah yang pada akhirnya membuat seorang maha guru tidak mengakuinya sebagai murid resmi. Ketekunan menjadi nilai lain yang bisa kita teladani, penolakan dari lembaga pendidikan resmi (dalam hal ini direpresentasikan pada diri Drona) tidak membuat ia patas semangat. Belajar tidak hanya harus berada dalam sebuah lembaga yang resmi, dimana pun dan kapan pun kita bisa belajar. Keterbatasan tidak menghalangi seseorang untuk menjadi sukses. Justru hal itu menjadi pelecut semangat untuk sukses. Sejarah membuktikan bahwa banyak sekali orang yang sukses karena didasari ketekunan. Fasilitas yang lengkap, tempat belajar yang nyaman, tidak menjamin seseorang bisa sukses. Seorang Arjuna (yang merupakan representasi dari murid dalam lembaga resmi) ternyata kemampuannya bisa ditandingi oleh orang yang tidak mendapat pengajaran dari lembaga resmi. Ketekunan ini yang sekarang mulai luntur pada budaya belajar kita, baik itu pada murid atau pendidiknya. Realitasnya pada dunia pendidikan Indonesia khususnya guru Pernahkah kita melakukan Diskriminasi seperti yang dilakukan diatas? Tanyalah hal itu pada diri kita, tentunya Tiap kita punya jawaban masing-masing yang harus direnungkan. Peristiwa diatas memberikan kita sebuah pelajaran yang berharga bagaimana ada diskriminasi yang dilakukan oleh seorang maha guru yang terhormat. Memang diskriminasi bisa dilakukan oleh siapa saja, namun bila yang melakukannya seorang guru atau pendidik itu akan menjadi hal lain. Asas kesetaraan, kebebasan dan persamaan hak diantara warga Negara yang harusnya bisa lebih dikembangkan dan dipraktekan di lembaga pendidikan. Sederhananya bila dalam dunia pendidikan saja ada diskriminasi apalagi di luar dunia pendidikan. Konstitusi Negara kita ini semua itu sudah jelas dan mengatur hal itu. Memberikan kesempatan yang sama pada semua orang merupakan hak warga Negara. Memang kasus-kasus yang terjadi di beberapa wilayah, tidak bisa digeneralisir mewakili kebijakan secara nasional, tapi hal itu harus bisa diminimalisir sekecil mungkin. Di masa lalu kita pernah merasakan pahit-getirnya diskriminasi yang disebabkan oleh kolonisasi dan imperialisme bangsa barat, sehingga sekolah/pendidikan menjadi suatu hal yang sangat mahal dan hanya milik segelitir orang saja. Setelah merdeka pun hal itu nampaknya belum bisa dihilangkan sepenuhnya. Banyak hal yang membuat lembaga pendidikan dan pendidik melakukan diskriminasi yang dilakukan perorangan ataupun secara berkelompok yang dilakukan secara sadar ataupun tanpa disadari. Dari proses masuknya anak ke sekolah sampai perlakuannya ketika ia akan lulus dari sekolah. Factor-faktor yang mempengaruhinya bisa jadi karena: 1. Lingkungan 2. Budaya masyarakat 3. System Khusus untuk yang dilakukan oleh pendidik dalam hal ini guru, diskriminasi ini bisa dihindari bila ia mengetahui peran dan fungsinya. Seorang pendidik Menurut pendapatnya WF Connell (1972) setidaknya mempunyai tujuh peran yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga. Bila hal ini ia pahami betul maka diskriminasi terhadap peserta didik bisa dihindari, kecuali peran yang ketujuh itu (kesetiaan terhadap lembaga) nantinya akan menjadi ganjalan. Mengapa ? hal ini dilematis ketika pendidik akan melaksanakan kewajibannya tiba-tiba ada hal yang bertentangan dengan keinginan lembaga, maka mau tidak mau ia harus mengalah atau dipaksa untuk mengalah. Banyak fakta yang terjadi ketika guru dipaksa untuk mengalah terhadap kebijakan lembaga, misalkan dalam kasus di sebuah sekolah ada guru yang terpaksa dipindah tugaskan yang tadinya mengajar kelas XII menjadi kelas X karena alasan mengajarkan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan kebijakan lembaga. Atau juga ada guru yang dipindahtugaskan karena mempertanyakan kebijakan pimpinannya …. Walah ... walah … sungguh tragis nasib guru, ketika ia dilarang bersifat diskriminatif namun ia malah diperlakukan diskriminatif. Memang banyak teori-teori lain tentang fungsi dan peran guru, namun semua itu satu sama lain memiliki tujuan yang sama, jadi tidak diperlu dibahas satu demi satu. Yang lebih penting guru memahami intinya, bukankah tujuan pendidikan itu adalah Memanusiakan Manusia, bukan sebagai lembaga Waralaba yang mencari keuntungan. Maka sewajar manusia harus dimanusiakan lagi agar sifat-sifat hewani itu tidak muncul berlebihan. Prinsip terpenting dalam pendidikan menurut Konfusius adalah memelihara watak manusia agar tetap bersih, memberikan kehidupan baru kepada peserta didik, dan menuntun orang kepada kesempurnaan atau kebaikan akhir” (Ta Hsueh, dalam Lin Yutang, 1938). Semoga kita bisa belajar banyak dari kisahnya tragedy Bambang Ekalaya, dan jangan sampai muncul kisah-kisah yang lebih tragis lagi. Mudah-mudahan bangsa kita lebih maju lagi…..

Komentar

Postingan Populer